Oleh: Muhammad Yassir
(Pemerhati Pendidikan)
Menurut Bell-Gredler dalam Udin S. Winataputra (2008) pengertian belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan aneka ragam Kemampuan (competencies), keterampilan (skills), dan sikap (attitude). Ketiga hal tersebut diperoleh secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari masa bayi sampai masa tua melalui rangkaian proses belajar sepanjang hayat.
Dengan demikian belajar dapat disimpulkan sebagai rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indera dan pengalamannya.
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menegaskan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Interperetasi regulasi ini cukup beragam di tengah dunia pendidikan. Sebagian pendidik berdiri di depan kelas dan membacakan ‘khotbahnya’.
Metode ini lazim kita sebut dengan Teacher Centre Learning (TCL), dimana pendidik adalah satu-satunya sumber belajar. Metode ini diistilahkan oleh McLuhan dalam buku usangnya namun spektakuler “The Guttenberg Galaxy : The Making of Typographic Man” yang terbit pada tahun 1962 sebagai Tribal Age, yaitu masa dimana telinga adalah ‘raja’ (hearing is believing). Dimana komunikasi hanya mendasarkan diri pada narasi, cerita, dongeng tuturan, dan sejenisnya. Sehingga peserta didik harus benar-benar ‘memasang’ telinga dengan sungguh-sungguh.
Metode yang berikutnya adalah Student Centre Learning (SCL), pembelajaran berpusat pada peserta didik. Pendidik bertindak sebagai fasilatator dan provokator serta triger dalam mengembangkan minat dan bakat peserta didiknya. Pendidik bukanlah satu-satunya sumber informasi.
Pesert didik bisa mendapatkan informasi belajar dari mana saja dan kapan saja. McLuhan menyebutnya sebagai era Electronic Age, era serba canggih. Dunia menjadi seperti “global village” yang dalam istilah populer sekarang ini disebut sebagai era globalisme.
Era ini mampu membawa manusia untuk bersentuhan dengan manusia yang lainnya, kapan saja, di mana saja, seketika itu juga. Sehingga peserta didik bisa merasakan semua indera bisa mendapatkan informasi saat itu dan dimanapun jua.
Era Electronic Age juga disebut sebagai era digitalisasi. Terpaksa atau tidak, saat ini di tengah pandemi covid 19, ruang kelas klasikal telah bergeser ke ruang kelas virtual. Mulai dari metode shortmassage, video conference, sampai menggunakan Learning Management System (LMS).
Apapun bentuknya, pendidikan sudah ada dalam genggaman dalam pengertian yang sesungguhnya. Semua orang bisa belajar dengan gayanya masing-masing, tanpa harus disekat oleh dinding-dinding kelas, cara duduk di kelas, spidol dan penghapus yang siap melayang hingga pakaian yang formal.
Peserta didik secara online kemudian diberi asupan berbagai macam mata pelajaran yang harus dicerna tanpa analisa, ataupun mengaitkan mata pelajaran tersebut dengan kepentingan sosial dan kemasyarakatannya.
Dalam sistem pendidikan seperti ini, pola pendidikan megandung karakter, seperti yang diistilahkan oleh Paulo Freire, sebaga “gaya bank”, dengan memposisikan anak didik sebagai objek, bukan subjek pendidikan. (Paulo Freire, 1972).
Sebagai objek, dalam proses belajar-mengajar, Pendidik sekedar memindahkan sejumlah dalil dan rumus kepada anak didik, tanpa memberikan pengertian substansial tentang pentingnya dalil dan rumus tersebut.
Dalam buku terbitan kedua “Understanding Media: The Extensions of Man (1964)”, McLuhan menceritakan fenomena di atas sebagai “determinisme teknologi”. Maksudnya adalah penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi itulah yang sebenarnya yang mengubah kebudayaan manusia. Jika Karl Marx berasumsi bahwa sejarah ditentukan oleh kekuatan produksi, maka menurut McLuhan eksistensi manusia ditentukan oleh perubahan mode komunikasi.
Kalau mau kita lihat saat ini tidak ada satu segi kehidupan manusia pun yang tidak bersinggungan dengan apa yang namanya media massa. Mulai dari ruang keluarga, dapur, sekolah, kantor, pertemanan, bahkan agama, semuanya berkaitan dengan media massa. Hampir-hampir tidak pernah kita bisa membebaskan diri dari media massa dalam kehidupan kita sehari-hari.
Mcluhan seolah mengingatkan bahwa semakin tidak ada yang merdeka dari teknologi. Anda mungkin bisa mendatangkan seorang Prefesordengan bayaran tinggi tapi tidak bisa membeli kebijaksanaan.
Anda mungkin bisa membeli buku atau ebook termahal tapi anda tidak bisa membeli ilmu pengetahuan. Anda bisa bebas belajar dari mana saja dengan siapa saja dengan kurikulum apapun, tapi anda tidak bisa lepas dari pengaruh teknologi.
Karena itu, tidak sulit menyaksikan betapa kurikulum pendidikan menekankan pada hasil-hasil yang bersifat material. Hingga pada tahap tertentu mengklasifikasi anak didik dalam kategori-kategori tertentu berdasarkan nilai-nilai yang dihasilkan oleh anak didik.
Sekolah menjadi lembaga pendidikan yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang tidak egaliter dan cenderung diskriminatif. Sekolah dianggap sebagai lembaga pendidikan dalam era industri yang telah menjadi sedemikian mekanistik. Penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah merupakan praksis yang tidak sebangun dengan pendidikan itu sendiri.
Murid-murid kemudian mempunyai logika baru; belajar dianggap sebagai hasil proses pembelajaran yang diadakan oleh sekolah, semakin banyak pengajaran maka semakin banyak hasilnya, menambah materi maka akan semakin mempermudah keberhasilan.Mungkinkah pendidikan kita sudah merdeka?
"teknologi" - Google Berita
April 25, 2020 at 02:21PM
https://ift.tt/3cDKKCK
Merdeka Belajar di Tengah Determinasi Teknologi - FAJAR
"teknologi" - Google Berita
https://ift.tt/2oXVZCr
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Merdeka Belajar di Tengah Determinasi Teknologi - FAJAR"
Post a Comment